AI: Kantong Ajaib Doraemon untuk Guru Indonesia?
Doraemon dan AI (Ilustrasi by ChatGPT)
Sebagai guru di sekolah negeri yang tidak selalu punya akses teknologi mutakhir, saya tumbuh bersama generasi yang mengenal teknologi dari imajinasi: Doraemon. Robot kucing dari abad ke-22 itu memiliki kantong ajaib yang bisa mengeluarkan apa saja—mulai dari mesin waktu hingga penerjemah universal. Saat itu saya menganggap semua alat Doraemon hanyalah mimpi. Tapi kini, kecerdasan artifisial (AI) mulai mengubah lanskap pendidikan dengan cara yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya—seolah kantong ajaib itu benar-benar ada.
Hari ini, teknologi seperti ChatGPT, Khanmigo, Grammarly, atau AI tutor lainnya mulai masuk ke ruang kelas global. Bahkan, beberapa siswa di sekolah saya sudah tahu cara menggunakan AI lewat ponsel mereka—meski kadang belum tepat guna. Sebagai guru, saya melihat ini sebagai tantangan sekaligus peluang.
Laporan UNESCO tahun 2021 berjudul Artificial Intelligence and Education: Guidance for Policy-makers menyebut bahwa AI dapat membantu personalisasi pembelajaran, mengurangi beban administratif guru, dan memperluas akses pendidikan bagi kelompok rentan. Ini sangat relevan di Indonesia, negara dengan lebih dari 50 juta pelajar dan belasan ribu sekolah yang tidak merata kualitasnya.
Tapi kenyataannya, tidak semua guru siap menghadapi “kantong ajaib” ini. Banyak rekan sejawat saya belum memahami apa itu AI, apalagi mengintegrasikannya dalam pembelajaran. Kurangnya pelatihan, keterbatasan infrastruktur, dan tekanan administratif membuat AI terasa seperti alat canggih milik sekolah elit—bukan alat bantu yang inklusif.
Saya membayangkan jika guru-guru di sekolah seperti kami punya akses ke AI yang bisa membantu menyusun soal, merancang diferensiasi pembelajaran, bahkan memetakan gaya belajar siswa. Bukan untuk menggantikan peran kami, tapi untuk meringankan. Dengan demikian, kami bisa lebih fokus pada aspek yang tak bisa dilakukan mesin: membangun karakter, menanamkan empati, dan mendampingi tumbuh-kembang anak.
Sebagaimana dikatakan Yuval Noah Harari dalam bukunya 21 Lessons for the 21st Century, “Di masa depan, pendidikan bukan tentang mengisi kepala siswa dengan data, tapi melatih kemampuan berpikir kritis, beradaptasi, dan menghadapi ketidakpastian.” AI seharusnya menjadi alat bantu untuk tujuan itu, bukan sekadar alat cari jawaban cepat.
Namun, jika kita tidak hati-hati, AI bisa menjadi pedang bermata dua. Siswa bisa tergoda untuk bergantung pada mesin, kehilangan daya juang belajar, atau terpapar informasi yang bias. Karena itu, peran guru tidak makin kecil—justru makin besar dan strategis.
Saya percaya bahwa pendidikan masa depan di Indonesia hanya bisa berhasil jika kita tidak hanya bicara soal alat, tapi juga literasi digital dan etika penggunaan teknologi. AI harus dikenalkan ke siswa sebagai alat berpikir, bukan alat mencontek. Pemerintah bisa memasukkan kurikulum AI dan teknologi etis dalam mata pelajaran Informatika atau sebagai mata pelajaran pilihan yang berdiri sendiri.
Saya membayangkan ruang kelas masa depan bukan yang serba digital, tapi yang seimbang antara teknologi dan kemanusiaan. Di mana guru tetap menjadi sosok yang membimbing dengan hati, dan AI menjadi alat bantu yang bekerja di belakang layar. Seperti Doraemon bagi Nobita: bukan yang mengerjakan PR, tapi membantu Nobita berpikir, mencoba, dan belajar dari kesalahan.
Masa depan pendidikan Indonesia tidak perlu menunggu abad ke-22. Ia bisa dimulai dari sekarang, dari ruang-ruang kelas yang sederhana, dari guru-guru yang mau belajar hal baru, dan dari murid-murid yang kita bimbing bukan hanya agar pintar, tapi juga bijak dan manusiawi. Karena seperti pesan dari Doraemon: masa depan itu bisa diubah, jika kita berani mencoba.
"Seperti Doraemon bagi Nobita, AI bisa menjadi sahabat guru—bukan yang mengerjakan PR, tapi yang menyalakan semangat belajar."