Hadiah untuk Guru, Apakah Gratifikasi?

Ilustrasi Hadiah Untuk Guru (Source: ChatGPT)

Setiap akhir semester, hari ulang tahun, atau perayaan Hari Guru, banyak guru menerima bingkisan dari murid atau orang tua. Ada yang berupa makanan, peralatan rumah tangga, hingga amplop berisi uang. Di tengah budaya yang menjunjung tinggi penghormatan kepada guru, fenomena ini kerap dianggap wajar. Namun, pertanyaannya: apakah ini sekadar bentuk apresiasi, atau justru termasuk praktik gratifikasi yang mencederai integritas pendidikan?

Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yang mencakup uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, dan sejenisnya yang diterima pegawai negeri atau penyelenggara negara terkait jabatannya. Guru sebagai aparatur sipil negara (ASN) termasuk dalam kategori tersebut. Maka, hadiah sekecil apapun yang diberikan dalam konteks jabatan bisa dikategorikan sebagai gratifikasi jika tidak dilaporkan.

KPK secara rutin menerbitkan Indeks Integritas Pendidikan, yang mengukur sejauh mana praktik korupsi terselubung, termasuk gratifikasi, memengaruhi sektor pendidikan. Pada 2024, indeks tersebut masih menunjukkan adanya kerentanan tinggi dalam hal integritas di sekolah, salah satunya karena lemahnya kesadaran tentang gratifikasi. Praktik pemberian hadiah tanpa prosedur yang jelas berpotensi menjadi celah pelanggaran etika dan hukum.

Konteks Sosial-Budaya: Apresiasi atau Beban?

Dalam budaya Indonesia yang sarat nilai kekeluargaan, memberi hadiah dianggap sebagai bentuk penghormatan dan ungkapan terima kasih. Namun, tidak jarang, niat baik ini berubah menjadi norma sosial yang memberatkan. Ada orang tua yang merasa “harus” memberi hadiah agar anaknya diperhatikan lebih, atau sekadar agar tidak merasa bersalah. Di sisi lain, guru yang menerima hadiah bisa merasa terikat atau tidak enak hati untuk bersikap objektif terhadap murid.

Saya sendiri pernah mengalami dilema serupa. Seorang wali murid menyerahkan bingkisan berisi barang mahal saat pembagian rapor. Saya tahu orang tua tersebut berniat baik, namun saya khawatir ini akan menciptakan persepsi buruk di antara murid lain, terutama mereka dari keluarga kurang mampu. Saya memilih menolak secara halus, sambil menjelaskan bahwa bentuk terima kasih terbaik adalah dukungan terhadap proses belajar anak.

Belajar dari Negara Lain

Di Jepang, guru sangat dihormati, tetapi pemberian hadiah kepada guru diatur sangat ketat. Kementerian Pendidikan Jepang melarang pemberian dalam bentuk apapun dari murid atau orang tua, terutama yang berkaitan dengan hasil belajar. Jika ada yang melanggar, bisa dikenai sanksi disiplin. Hal serupa berlaku di Korea Selatan, di mana pemerintah bahkan mengesahkan “Kim Young-ran Law” pada 2016, yang melarang pejabat publik termasuk guru menerima hadiah di atas 50.000 won (sekitar Rp600 ribu), dengan sanksi tegas bagi pelanggar.

Kontras dengan itu, di Indonesia belum ada regulasi setegas itu di sektor pendidikan dasar dan menengah. Aturan dari KPK seringkali belum dipahami secara merata oleh guru dan masyarakat. Sosialisasi yang kurang, serta minimnya pedoman teknis di level satuan pendidikan, menyebabkan praktik pemberian hadiah tetap berlangsung tanpa kendali.

Solusi: Edukasi, Regulasi, dan Keteladanan

Pertama, edukasi kepada masyarakat perlu diperluas. Sekolah, melalui komite atau forum orang tua, bisa menyampaikan bahwa apresiasi kepada guru tidak harus berupa materi. Ucapan terima kasih tulus, testimoni hasil belajar anak, atau partisipasi dalam program sekolah bisa jauh lebih bermakna.

Kedua, sekolah perlu memiliki regulasi internal atau kode etik yang menegaskan sikap terhadap gratifikasi. Dalam rapat awal tahun, penting disampaikan bahwa guru dilarang menerima hadiah yang berkaitan dengan tugas, dan bila terpaksa menerima (misalnya dalam bentuk makanan ringan), harus dilaporkan kepada kepala sekolah sebagai bentuk transparansi.

Ketiga, keteladanan dari pimpinan pendidikan sangat krusial. Kepala sekolah harus menjadi garda depan dalam menolak praktik gratifikasi terselubung. Guru yang menunjukkan integritas perlu diapresiasi, bukan justru dikucilkan karena menolak "tradisi".

Penutup: Integritas sebagai Warisan

Guru bukan hanya pendidik, tetapi juga teladan moral. Jika guru sendiri terjebak dalam praktik abu-abu seperti gratifikasi, maka bagaimana kita bisa mendidik generasi yang jujur dan adil? Dengan menolak gratifikasi, guru sedang mengajarkan pelajaran paling berharga kepada murid: bahwa integritas lebih penting daripada imbalan. Bahwa penghargaan terbaik bukan dalam bentuk hadiah, tetapi dalam keberhasilan anak-anak menjadi insan yang jujur, cerdas, dan berakhlak. Maka, sudah saatnya kita meninjau kembali kebiasaan memberi hadiah kepada guru. Apresiasi memang penting, tetapi integritas jauh lebih mulia.


Related

newsticker 6620494076821790967

Posting Komentar

emo-but-icon

Follow us !

My Channel

Trending

item